Sunday, October 1, 2023
Sejarah Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.
SILSILAH
1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)
11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)
12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)
13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524
PERIODE PEMERINTAHAN
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.
WILAYAH KEKUASAAN
Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.
Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri
KEHIDUPAN POLITIK
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya.
KEHIDUPAN EKONOMI
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.
Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
Sumber : http://acehdalamsejarah.blogspot.com
Fathan
Perang Padri
Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat. Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri.
Latar Belakang
Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan Belanda, dan merupakan konflik yang pecah di negeri Minangkabau ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak Islami. Namun setelah pendudukan Kerajaan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman, salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di Padang untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.[1]
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di Kekhalifahan Sokoto di Afrika Barat, adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kembali[2] dengan terinspirasi untuk membawa Al-Quran dan syariah ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20.
Perang Padri I 1803-1825
Awal mula 1803-1821
Sepulangnya tiga orang alim ulama dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Lintau menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Catatan Thomas Stamford Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]
Keterlibatan Belanda 1821-1825
Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Meski demikian, beberapa Kaum Adat yang lain merasa bahwa Bagagarsyah tidak memiliki hak mewakili Kerajaan Pagaruyung.[7] Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan daerah Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort van der Capellen
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10]
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]
Gencatan Senjata 1825 - 1831
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[14] Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya terjadi kesepakatan yang dikenal dengan nama "Sumpah Satie Bukik Marapalam" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang bermakna bahwa Adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[15]
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers pada tahun 1820.
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[16] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[17]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]
Perang Padri II 1831-1838
Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayah darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock. Pada awal Agustus 1831, Lintau berhasil ditaklukkan dan menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Sentot dibuang dan ditahan di Bengkulu, sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[18] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[19] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[20]
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833
Kaum Adat
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[21] Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[22] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tunggul Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia. Dalam catatan Belanda Sultan Tunggul Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol 1833-1835
Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de Veer. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[23] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[24]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[25]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Lukisan Bonjol pada tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[26]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[27]
Pengepungan Bonjol 1835-1837
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[28]
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[29] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[30] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayjen Cochius, Letkol Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[31]
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, pada akhir 1838 ia dipindahkan ke Ambon. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.[31] Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,[32] dan 2004 di Padang.[31][33]
Akhir Perang Padri 1838
Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Daludalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[34] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai, kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Warisan Sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[26] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[35] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Sumber: https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Perang_Padri
Fathan
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[23] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[24]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[25]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Lukisan Bonjol pada tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[26]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[27]
Pengepungan Bonjol 1835-1837
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[28]
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[29] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[30] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayjen Cochius, Letkol Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[31]
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, pada akhir 1838 ia dipindahkan ke Ambon. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.[31] Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,[32] dan 2004 di Padang.[31][33]
Akhir Perang Padri 1838
Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Daludalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[34] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai, kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Warisan Sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[26] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[35] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Sumber: https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Perang_Padri
Fathan
terjadi bom di hirosima dan nagasaki
Sudah 75 tahun sejak Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pada 6 dan 9 Agustus di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, yang menandai berakhirnya Perang Dunia II.
Kota Hiroshima luluh lantak setelah dibom Amerika
Peringatan: Artikel ini memuat rincian dan gambar-gambar yang kemungkinan bisa membuat Anda tidak nyaman.
Jumlah orang yang meninggal menyusul ledakan bom atom di Hiroshima diperkirakan mencapai 140.000 jiwa dari populasi 350.000 orang. Sementara itu, setidaknya 74.000 individu kehilangan nyawa di Nagasaki.
Radiasi yang dilepaskan bom nuklir ini menyebabkan ribuan orang meninggal dalam hitungan minggu, bulan, dan tahun setelah peristiwa tersebut. Mereka yang bertahan hidup dari serangan bom ini dikenal dengan istilah hibakusha. Para penyintas tersebut menghadapi hal-hal mengerikan termasuk trauma psikologis.
Tragedi bom di Hiroshima dan Nagasaki ini sontak mengakhiri perang di Asia. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945.
Tapi para kritikus mengatakan bahwa Jepang sebenarnya sudah di ambang kekalahan.
Jepang peringati 75 tahun bom atom Hiroshima yang menewaskan 140.000 orang
Kokura, kisah kota di Jepang yang luput dari 'kiamat' bom atom
Cerita tiga perempuan yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki - 'Saya belum pernah ke neraka, tapi neraka mungkin seperti yang kami alami'
Ledakan bom atom diperkirakan menewaskan 140.000 orang dari total populasi 350.000 jiwa di Kota Hiroshima.
Menyusul berakhirnya perang di Eropa pada 7 Mei 1945, pihak Sekutu meminta Jepang untuk menyerah pada 28 Juli, tapi tenggat waktu ini lewat begitu saja.
Diperkirakan 71.000 pasukan dari Inggris dan negara-negara Persemakmuran tewas saat melawan Jepang, termasuk lebih dari 12.000 tawanan perang yang meninggal dalam tahanan Jepang.
Pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15 waktu Jepang, sebuah pesawat Amerika jenis B-29 bernama Enola Gay menjatuhkan sebuah bom atom di Hiroshima.
Kru pesawat Enola Gay yang menjatuhkan bom atom di Hiroshima
Ini merupakan pertama kalinya bom atom digunakan dalam perang.
Bom di Hiroshima, yang dinamai "Little Boy", berisi muatan setara 12.000 - 15.000 ton TNT dan mampu menghancurkan area seluas 13 kilometer persegi.
Lebih dari 60% bangunan di Hiroshima hancur lebur
Bagaimanapun, Jepang belum menyerah.
Tiga hari kemudian, Amerika kembali menjatuhkan bom atom lainnya di Kota Nagasaki pada pukul 11.02 waktu setempat.
Bom atom membentuk awan jamur di Hiroshima (kiri) and Nagasaki (kanan)
Reiko Hada berusia sembilan tahun saat bom meledak di Nagasaki.
Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis foto Lee Karen Stow, dia menggambarkan pengalamannya: "Saya berhasil masuk ke dalam rumah, dan sepertinya saya bahkan bisa melangkah ke dalam, kemudian ledakan itu terjadi dengan cepat.
"Sebuah cahaya menyilaukan masuk ke dalam mata saya. Warnanya kuning, coklat, dan jingga, semuanya bercampur.
"Saya bahkan tak punya waktu untuk bertanya-tanya, apa itu.. Dalam waktu singkat, segalanya menjadi putih.
"Rasanya, saya seolah-olah ditinggalkan sendirian. Berikutnya, terdengar suara gemuruh yang keras. Lalu saya pingsan." Hada menyaksikan orang-orang yang mengalami luka serius akibat bom atom.
"Banyak yang melarikan diri dari Gunung Konpira menuju wilayah kami. Orang-orang dengan bola mata yang sudah keluar, rambut mereka acak-acakan, hampir semuanya telanjang, luka bakar parah dengan kulit yang menggelantung.
"Ibu saya mengambil handuk dan seprai di rumah dan, dengan perempuan lain di wilayah kami, mengajak orang-orang untuk menuju ke auditorium perguruan tinggi terdekat, tempat mereka bisa berbaring.
"Mereka meminta air. Saya diminta memberi mereka air. Lalu saya menemukan mangkuk dan pergi ke sungai terdekat dan mengambil air untuk mereka minum.
"Setelah minum seteguk air, mereka mati. Orang-orang mati satu per satu.
"Tidak mungkin untuk mengetahui siapa orang-orang itu. Mereka tidak mati seperti layaknya manusia." Jepang menyerah tanpa syarat pada 14 Agustus.
Pada hari yang sama, Presiden Amerika Serikat, Harry Truman, menyampaikan sebuah sebuah pidato di luar Gedung Putih, dengan mengatakan: "Ini adalah hari yang telah kita tunggu-tunggu sejak Pearl Harbor. Ini adalah hari di mana fasisme akhirnya berakhir, seperti yang kita ketahui itu akan terjadi."
Keesokan harinya, Kaisar Jepang Hirohito untuk pertama kalinya berbicara melalui siaran radio. Dia menyalahkan penggunaan "bom baru dan paling kejam" agar Jepang menyerah tanpa syarat.
Dia menambahkan: "Jika kita terus berperang, ini tidak hanya akan mengakibatkan kehancuran total dan pemusnahan negara Jepang, tapi juga akan menghancurkan peradaban manusia.
Perdana Menteri Inggris, Clement Atlee mengatakan: "Musuh terakhir kita telah menyingkir"
Dia menambahkan, berterima kasih khusus kepada AS "tanpanya upaya luar biasa perang di Timur akan terus berlanjut bertahun-tahun." Setelah Jepang menyerah, dua hari libur nasional diumumkan sebagai perayaan di Inggris, AS dan Australia.
Jutaan orang dari negara-negara sekutu mengambil bagian untuk berpawai dan berpesta di jalan dalam hari kemenangan melawan Jepang (VJ) pada 15 Agustus.
Kokura, kisah kota di Jepang yang luput dari 'kiamat' bom atom
Jepang peringati 75 tahun bom atom Hiroshima yang menewaskan 140.000 orang
Di London, keluarga kerajaan menyambut orang-orang dari balkon Istana Buckingham. Dokumen resmi menyerah ditandatangani Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang USS Missouri di perairan Tokyo. Kubah Bom Atom di Hiroshima, sebagaimana terlihat dalam foto di bawah pada Agustus 2020, merupakan salah satu dari sedikit bangunan yang selamat dari ledakan bom dan dilestarikan sebagai sebuah tugu peringatan. Bangunan kubah ini berada di Taman Peringatan Perdamaian dan telah dinobatkan sebagai situs warisan dunio oleh UNESCO.
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53718074
Fathan
Kejatuhan Konstantinopel
Kejatuhan Konstantinopel (bahasa Yunani Pertengahan: Ἅλωσις τῆς Κωνσταντινουπόλεως, translit. Hálosis tís Konstantinoupóleos; bahasa Turki: İstanbul'un Fethi) adalah peristiwa jatuhnya ibu kota Romawi Timur, Konstantinopel ke tangan Kesultanan Utsmaniyah yang dipimpin oleh Mehmed II Sang Penakluk pada tanggal 29 Mei 1453 (Kalender Julian), merupakan peristiwa penting yang merupakan salah satu penanda berakhirnya Abad Pertengahan. Pergantian kekuasaan dari Kekaisaran Romawi Timur kepada Kesultanan Utsmaniyah ini menyebabkan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia Barat di Laut Tengah terputus. Persediaan rempah-rempah untuk dunia Kristen yang dulunya bisa didapatkan di Konstantinopel tidak tersedia lagi karena konflik antar agama Kristen dan Islam. Para pedagang terpaksa mencari jalur lain ke sumber rempah-rempah dan hal tersebut membawa bangsa Eropa ke India dan kepulauan Nusantara.
Serangan terakhirLukisan oleh pelukis Yunani Theophilos Hatzimihail menggambarkan pertempuran di dalam kota, Konstantinus terlihat menunggangi kuda putih.
Pengepungan Konstantinopel, dibuat 1499.
Persiapan untuk serangan terakhir dimulai pada petang 26 Mei dan berlanjut keesokan harinya.[29] Selama 36 jam setelah dewan perang memutuskan untuk menyerang, Utsmaniyah secara besar-besaran menggerakkan tentara mereka untuk melancarkan serangan umum.[29] Tentara diberi kesempatan untuk berdoa dan beristirahat pada tanggal 28. Di pihak Bizantium, suatu armada kecil Venesia dengan 12 kapal, setelah menyusuri Aigeia, tiba di ibu kota pada 27 Mei dan melaporkan kepada Kaisar bahwa tidak ada armada bantuan Venesia yang besar yang akan datang.[30] Pada 28 Mei, ketika Utsmaniyah bersiap untuk serangan terakhir, prosesi keagamaan berskala besar digelar di dalam kota. Saat petang suatu upacara khidmat digelar di Hagia Sophia, di mana Kaisar dan perwakilan gereja Latin dan Yunani ikut serta, bersama-sama dengan kaum bangsawan dari kedua pihak.[31]
Tidak lama setelah tengah malam pada 29 Mei serangan mati-matian dimulai. Pasukan Kristen Kekaisaran Utsmaniyah menyerang pertama kali, diikuti oleh gelombang serangan berturut-turut oleh azap ireguler, yang miskin pelatihan dan perlengkapan, serta pasukan Anatolia yang berfokus pada bagian dinding Blachernai di barat laut kota, yang telah rusak oleh meriam. Bagian ini dibuat lebih tua, pada abad kesebelas, dan jauh lebih lemah. Pasukan Anatolia berhasil menembus bagian dinding ini dan memasuki kota namun dengan cepat dihalau keluar oleh pasukan bertahan. Akhirnya, seiring pertempuran terus berlanjur, gelombang terakhir, yang terdiri atas Yanisari elit, menyerang dinding kota. Jenderal Genoa yang memimpin serangan darat,[3][32][33] Giovanni Giustiniani, terluka parah selama serangan, dan evakuasinya dari benteng memicu kepanikan di kalangan pasukan bertahan.[34] Giustiniani dibawa ke Khios, di mana dia meninggal akibat lukanya beberapa hari kemudian.
Dengan mundurnya pasukan Genoa yang dipimpin Giustiniani ke dalam kota dan menuju pelabuhan, Konstantinus dan pasukannya, kini tinggal berjuang sendirian, terus bertempur dan mampu menahan Yanisari untuk sementara, tapi akhirnya mereka tidak mampu menghentikan Yanisari memasuki kota. Pasukan bertahan juga kewalahan di beberapa titik di bagian Konstantinus. Ketika bendera Utsmaniyah berkibar di atas sebuah gerbang belakang kecil, Kerkoporta, yang terbuka, kepanikan merebak, dan pertahanan pun runtuh, seiring Yanisari, yang dipimpin oleh Ulubatlı Hasan terus menekan. Tentara Yunani berlarian ke rumah untuk melindungi keluarga, tentara Venesia berlarian ke kapal-kapal mereka, dan beberapa tentara Genoa melarikan diri ke Galata. Sisanya bunuh diri dengan melompat dari dinding kota atau menyerah.[4] Rumah-rumah Yunani yang paling dekat dengan kota adalah yang pertama mengalami penyerangan oleh Utsmaniyah. Disebutkan bahwa Konstantinus, melepaskan regalia ungunya, memimpin serangan terakhir terhadap pasukan Utsmaniyah yang berdatangan, dan meninggal dalam bentrokan yang terjadi di jalanan besama para tentaranya. Di pihak lain, Nicolò Barbaro, seorang saksi mata Venesia selama pengepungan, menulis dalam buku hariannya bahwa dikatakan bahwa Konstantinus gantung diri ketika Utsmaniyah menembus gerbang San Romano, meskipun nasib akhirnya tak diketahui.[35]
Setelah serangan awal, pasukan Utsmaniyah menyebar di sepanjang kalanan kota, Mese, melewatkan forum-forum besar, dan melewatkan Gereja Rasul Suci, yang diinginkan oleh Mehmed II untuk dijadikan tempat kedudukan patriark yang akan ditunjuknya, yang akan membantunya untuk lebih baik dalam mengendalikan rakyat Kristennya. Mehmed II telah mengirim tentara untuk melindungi bangunan-bangunan penting seperti gereja tersebut.
Beberapa penduduk sipil yang beruntung berhasil melarikan diri. Ketika orang Venesia melarikan diri ke kapal-kapal mereka, Utsmaniyah telah merebut dinding Tanduk Emas, namun tentara Ustmaniyah tidak membunuh mereka karena lebih tertarik untuk menjarah rumah-rumah di kota. Akibatnya, Tanduk Emas diabaikan sehingga orang Venesia berhasil selamat. Kapten Venesia memerintahkan anak buahnya untuk mendobrak gerbang Tanduk Emas, lalu mengisi kapal dengan tentara Venesia dan pengungsi dari kota. Segera setelah mereka pergi, beberapa kapal Genoa dan bahkan kapal-kapal kekaisaran mengikuti mereka keluar dari Tanduk Emas. Tak lama setelah itu, Angkatan Laut Utsmaniyah kembali menguasai Tanduk Emas pada tengah hari.[4]
Pasukan Utsmaniyah mendatangi Augusteum, lapangan luas di depan gereja Hagia Sophia yang gerbang perunggunya dihalangi oleh kerumunan penduduk sipil di dalam bangunan yang mengharapkan bantuan dari Tuhan. Setelah pintunya didobrak, tentara Utsmaniyah memisahkan orang-orang berdasarkan kemungkinan harga mereka di pasar budak. Mehmed II mengizinkan pasukannya menjarah kota selama tiga hari sesuai adat.[36][37] Para tentara memperebutkan sejumlah rampasan perang.[38] Menurut ahli bedah Venesia Nicolò Barbaro "sepanjang hari pasukan Turk membantai banyak sekali orang Kristen di seluruh kota". Menurut Philip Mansel, ribuan penduduk sipil dibunuh dan 30.000 penduduk sipil diperbudak atau diusir.[27]
Pasca penaklukan
Sultan berdiam di Konstantinopel selama 23 hari lamanya pasca penaklulan, menyelesaikan segala urusan-urusannya, dan mengatur pengelolaan kota yang baru ditakluk itu. Dalam pada tempoh itu, ia membuka satu permulaan daripada dekritnya soal kota itu, bahwa Konstantinopel dijadikannya sebagai ibu kota. Sesudahnya ia mengambil gelar "al-Fātih" (Arab: Penakluk), dan "Abul-Fath" (Arab:Bapak Penakluk),[39] karenanya ia dikenal dengan nama "Muhammad al-Fātih". Dalam bahasa Turki Utsmaniyah: ia ditulis فاتح سُلطان مُحمَّد خان ثانى atau "Fatih Sultan Muhammad Khan Tsani". Di bahasa Turki modern ia ditulis dengan sebutan "Fâtih Sultan Mehmed Han II".
source : https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Kejatuhan_Konstantinopel
Fathan
Subscribe to:
Posts (Atom)
Sejarah Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada ta...
-
Sejarah Perang dunia II Perang Dunia II atau Perang Dunia Kedua, sering disingkat PD II atau WW2, adalah konflik global yang berlangsung dar...
-
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada ta...
-
Sejarah perang Dunia I Perang Dunia I (28 Juli 1914 – 11 November 1918), sering disingkat PD I, adalah sal...